Menggapai Kesuksesan Dengan Menganaktirikan Pendidikan
Oleh: Abd. Wafa (Musyrif Ar Razi)
Allah
SWT menciptakan manusia di muka bumi ini dengan bentuk yang sebaik-baiknya
(at-Tin:4). Setiap manusia yang lahir di bumi ini telah membawa fitrah. Kata
“fitrah” disini bisa kita artikan sebagai potensi, dan potensi yang ada
di dalam manusia tersebut bisa berupa potensi baik atau potensi kurang baik,
tergantung siapa dan bagaimana
mengembangkan potensi tersebut.
HI-
Secara umum,
manusia memiliki dua potensi, yaitu potensi jasmani dan potensi rohani. Kalau
potensi jasmani manusia digerakkan oleh fikiran, perasaan dan kemauan yang
menimbulkan kekuatan lahiriyah. Potensi jasmani tersebut bisa berupa
keterampilan, oleh tubuh, dan juga termasuk berbagai macam kecerdasar (logika,
bahasa, musik, visual-spasial, kinestetik, interpersonal, dan naturalis).
Sedangkan potensi rohani manusia digerakkan oleh cipta, rasa dan karsa yang
menimbulkan kekuatan rohani. Potensi rohani manusia meliputi hati, nafsu dan
akal.
Dua potensi manusia
tersebut (jasmani dan rohani) dapat dikembangkan dengan pendidikan, baik berupa
pendidikan umum (termasuk pelatihan, les, bimbel, dll.) maupun dengan pendidikan agama (baik di kelas maupun di
mejelis ta’lim). Pengembangan potensi jasmani dengan pendidikan umum, pelatihan
dan bimbingan belajar bertujuan untuk menggali dan mengasah beberapa kemampuan
atau kecerdasan, di antaranya yaitu; berpikir matematik-logis (penguasaan ilmu
matematika, fisika, kimia, astronomi, dll), kemampuan berbahasa (penguasaan berbicara
dan berbahasa Indonesia, Inggris, Arab, dll.),
kemampuan kinestetik (penguasaan olah tubuh, contoh atlet), dan beberapa
kemampuan atau kecerdasan yang lainnya. Sedangkan pengembangan potensi rohani
dengan pendidikan agama, mengikuti kegiatan majelis ta’lim (dzikir maupun
sholawat), taklim afkar, hotmil qur’an, dan lain sebagainya bertujuan untuk
mempertebal keimanan, ketakwaan, pengendalian nafsu, dan akhlakul karimah.
Pendidikan umum dan
agama merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena keduanya saling
melengkapi dan mempengaruhi. Orang yang menempuh pendidikan umum tanpa
memperhatikan pendidikan agama bagaikan singa yang tak bertuan, artinya ilmu
yang diperoleh tersebut bisa berdampak baik dan bisa berdampak buruk. Akan
tetapi jika orang yang menempuh pendidikan umum disertai pendidikan agama, maka
ilmu umum yang diperoleh tersebut akan berdampak pada kebaikan, karena
pendidikan agama yang diperoleh akan mengontrol pendidikan umum yang diperoleh.
Contoh, seorang dokter spesialis kandungan (yang tidak memiliki ilmu agama)
berpotensi besar melakukan praktek aborsi kepada pasien yang memintanya, karena
bisa saja tergiur dengan bayaran (fee) yang diberi oleh si pasien. Hal
ini bisa terjadi karena ilmu agamanya yang kurang, sehingga membuat keimanan
dan ketakwaanya terhadap Allah SWT sangat kurang, dan akhirnya sang dokter
tersebut mau melakukan praktek aborsi tersebut. Berbeda dengan seorang dokter
spesialis kandungan (yang memilki ilmu agama), dia tidak akan mau melakukan
praktek aborsi sekalipun diiming-imingi dengan bayaran yang besar, karena dia
tahu bahwa perbuatan aborsi adalah haram. Maka dari itu, pendidikan umum dan
agama harus berjalan berdampingan, layaknya kita berjalan dengan dua kaki yang
normal.
Melihat
perkembangan pendidikan anak sekarang, banyak anak-anak sekolah dasar (SD/MI),
dan sekolah menengah (SMP/MTs dan SMA/MA) lebih memilih dan mengutamakan
pendidikan umum, di sisi lain mereka menomorduakan pendidikan agama (Islam). Ketika
saya duduk di bangku SLTA (SMA) dulu, saya menjadi anggota Organisasi Takmir
Masjid Sekolah (ya semacam ekstra kerohanian Islam atau Rohis). Organisasi
takmir tersebut mempunyai program kegiatan sholat dzuhur berjama’ah, kajian
kitab Durrotun Nasihin setelah sholat magrib sampai menjelang sholat isya
pada hari rabu, istigosah pada malam jum’at setelah sholat magrib sampai
menjelang sholat isya, dan kegiatan pengajian ahad pagi (PAP) satu bulan
sekali. Kegiatan-kegiatan tersebut pun kurang begitu diminati para siswa. Pada
kegiatan sholat dzuhur berjama’ah, walaupun sudah dijadwal setiap kelas hanya
mengikuti sekali dalam seminggu tetap saja para siswa yang mengikutinya
sedikit. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan kajian kitab Durrotun
Nasihin, walaupun hanya seminggu sekali, tetap peminatnya sedikit, apa lagi
kegiatan istigosah, para siswa hanya minat mengikuti kegiatan istigosah ketika
menjelang ujian semester saja. Semua kegiatan tersebut murni pengembangan
potensi rohaniah, dan semua kegiatan tersebut gratis tanpa dipungut biaya,
bahkan untuk kegiatan Istigosah dan Pengajian Ahad Pagi, takmir memberikan
konsumsi kepada para peserta Para siswa yang tidak mengikuti kegiatan beralasan
karena lagi les/bimbel, karena tidak diizini orang tua, karena banyak tugas,
dan yang lainnya.
Kemudia, ketika
saya menempuh pendidikan tinggi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang pada Juli 2012, saya menempuh pendidikan di Ma’had Sunan Ampel
Al-Aly (MSAA) selama satu tahun. Menurut Dr. K.H. Isroqunnajah, M.Ag., ma’had merupakan
lembaga yang berperan dalam pengembangan akhlak dan spiritual mahasiswa. Oleh
karena itu, program-program kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa
baru UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yaitu; kegiatan sholat subuh berjama’ah,
pembacaan dzikir wirdul latif, shobahullugoh, taklim al-qur’an
dan afkar, tahseh al-Qur’an dan sholat magrib berjamaah. Lagi-lagi, teman-teman
seangkatan dan satu asrama (mabna) dengan saya, kurang meminati kegiatan ma’had
tersebut. Seandainya mengikuti kegiatan
ma’had, mereka datangnya telat tetapi pulangnya mintak lebih. Kejadian yang
sama, saya temukan berulang-ulang ketika saya menjadi musyrif mulai Agustus
2013 sampai november 2016, bahwa mahasiswa baru kurang berminat mengikuti dan
melaksanakan kegiatan ma’had tersebut. Mereka lebih memilih dan lebih senang
mengikuti perkuliahan reguler dengan alasan yang biasa digunakan mereka (para
maba tersebut) yaitu “saya disini untuk kuliah, bukan untuk mondok”. Selain
itu, ada beberapa kasus-kasus yang saya temui, pertama para maba
tersebut datang telat ketika mengikuti kegiatan (baik shobahullugoh maupun
taklim afkar dan al-qur’an), tetapi mereka mintak kepada ustadz/ah atau kepada
musyrifnya untuk pulang tepat waktu, dengan alasan persiapan untuk perkuliahan
reguler, padahal mereka (para maba tersebut) datang lebih pagi pun dosennya
belum datang. Kedua ada beberapa maba tersebut izin sakit kepada
musyrif/ah.nya untuk tidak mengikuti kegiatan sholat subuh berjama’ah,
shobahullugoh, dan taklim afkar/al-qur’at, tetapi maba tersebut masuk kuliah
reguler di kampus sampai sore.
Kejadian-kejadian
yang saya temukan ketika masih duduk di bangku SMA dan perguruan tinggi,
khususnya dua kejadian tersebut (sudah saya sebutkan pada diakhir paragraf
ke-6), saya namakan dengan istilah fenomena menggapai kesuksesan dengan cara
menganaktirikan pendidikan. Mereka
menginginkan sebuah kesuksesan (bisa berupa karir di dunia dan keselamatan di
akhirat) dengan cara mengikuti kegiatan perkuliahan reguler atau sekolah umum
(pengembangan potensi jasmani) tetapi mengabaikan pendidika agama atau kegiatan
ma’had (pengembangan potensi rohani). Seharusnya, pendidikan umum dan
pendidikan agama yang diikuti dan dijalani anak-anak dan para mahasiswa tersbut
haruslah seimbang, yaitu 50% pendidikan umum dan 50% pendidikan agama, karena
hal ini menyangkut pengembangan dua potensi yang mereka miliki. Supaya bisa
berjalan secara selaras dan beriringan.
Saya kurang begitu
mengetahui secara pasti “kenapa anak-anak atau mahasiswa sekarang lebih memilih
pendidikan umum dan mengabaikan pendidikan agama?”. Pertanyaan ini berusaha
saya renungkan dan saya fikirkan, sehingga muncullah asumsi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya berasumsi
bahwa mungkin anak-anak dan atau mahasiswa tersebut memiliki pemikiran bahwa
presetasi akademik dapat menentukan kesuksesan dalam dunia kerja dan
keberlangsungan karir, melihat sistem pendidikan yang ada di negara-negara
lain. Pemikiran yang seperti ini bisa saja melihat dari sistem dan tradisi pendidikan
yang ada di Eropa seperti Inggris,
prancis, Jerman, dan bisa juga melihat pendidikan yang ada di Amerika serta
pendidikan yang ada di Jepang dan korea yang mana negara-negara tersebut hanya
memfokuskan pendidikan umum (pengembangan potensi jasmani) saja, dan tidak
memperhatikan pendidikan agama (pengembangan potensi rohani) mereka.
Jika asumsi saya
tersebut menurut pembaca benar, maka dari itu wahai para pembaca (yang merasa
mengabaikan pendidikan agama/ mengabaikan kegiatan ma’had). Jauh sebelum Eropa
mengalami peradaban seperti sekarang ini, umat Islam pernah mencapai dan
mengalami peradaban selama delapan abad (abad ke-8 M - ke-15 M). Selama delapan
abad tersebut, melahirkan ilmuan-ilmuan muslim yang terkenal seperti Al-Farabi
(870-950), Ibnu Sina (980-1037 M.), Ibnu Kholdun (1332-1406 M.), Ibnu Rusyd (1126-1198
M.), al-Ghazali (1058-1111 M.), ar-Razi (856-925 M.), al-Batani (859-929 M.),
al-Khawarizmi (780-850 M.), Umar Khayyam (1048-1131 M.), Abul Wafa (940-998 M.),
dan masih banyak lagi yang tidak saya sebutkan. Beberapa dari nama-nama ilmuan
tersebut dipakai oleh UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sebagai nama-nama gedung
ma’had (mabna) putra dengan harapan nantinya para lulusan MSAA dan UIN bisa
menjadi para ilmuan muslim seperti mereka. Para tokoh ilmuan muslim tersebut,
selain menguasai ilmu bidang umum (filsafat, kedokteran, matematika, astronomi,
dll.), mereka juga menguasai ilmu agama (seperti hafal al-Qur’an, Tafsir,
hadist, fiqih, teologi Islam, tasawuf, dll.).
Oleh karena itu,
dari semua paparan di atas. Mari kita kembangkan potensi yang kita miliki ini
dengan semangat mengikuti dan menjalani proses pendidikan umum/perkuliahan dan
proses pendidikan agama/ma’had secara seimbang. Jangan mengabaikan pendidikan
agama untuk meraih kesuksesan akademik, karena para pendahulu kita (ilmuan
muslim terdahulu) telah mencontohkan bahwa mereka ahli dalam bidang ilmu umum
dan bidang agama.
"Kalau orang-orang Eropa bisa mencapai masa kejayaan dengan dikotomi ilmu dan agama, maka orang islam harus bangkit untuk mencapai kejayaan Islam dengan integrasi Ilmu dan agama."
Wallahua’lam . . .
picture from google.com
picture from google.com
0 komentar: