Senin, 16 Juli 2018

Fenomena Menggapai Kesuksesan dengan Menganaktirikan Pendidikan

Oleh : Abd. Wafa



Allah SWT menciptakan manusia di muka bumi ini dengan bentuk yang sebaik-baiknya (at-Tin:4). Setiap manusia yang lahir di bumi ini telah membawa fitrah. Kata ‘fitrah’ disini bisa kita artikan sebagai potensi, dan potensi yang ada di dalam manusia tersebut bisa berupa potensi baik atau potensi buruk, tergantung siapa dan bagaimana mengembangkan potensi tersebut.

Secara umum, manusia memiliki dua potensi, yaitu potensi jasmani dan potensi rohani. Kalau potensi jasmani manusia digerakkan oleh pikiran, perasaan dan kemauan yang menimbulkan kekuatan lahiriah. Potensi jasmani tersebut bisa berupa keterampilan, olah tubuh, dan juga termasuk berbagai macam kecerdasan (logika, bahasa, musik, visual-spasial, kinestetik, interpersonal, dan naturalis). Sedangkan potensi rohani manusia digerakkan oleh cipta, rasa dan karsa yang menimbulkan kekuatan rohani. Potensi rohani manusia meliputi hati, nafsu dan akal. 

Dua potensi manusia tersebut (jasmani dan rohani) dapat dikembangkan dengan pendidikan, baik berupa pendidikan umum (termasuk pelatihan, les, bimbel, dll.) maupun dengan  pendidikan agama (baik di kelas maupun di majelis taklim). Pengembangan potensi jasmani dengan pendidikan umum, pelatihan dan bimbingan belajar bertujuan untuk menggali dan mengasah beberapa kemampuan atau kecerdasan, diantaranya yaitu; berpikir matematik-logis (penguasaan ilmu matematika, fisika, kimia, astronomi, dll), kemampuan berbahasa (penguasaan berbicara dan berbahasa Indonesia, Inggris, Arab, dll.),  kemampuan kinestetik (penguasaan olah tubuh, contoh atlet), dan beberapa kemampuan atau kecerdasan yang lainnya. Sedangkan pengembangan potensi rohani dengan pendidikan agama, mengikuti kegiatan majelis taklim (dzikir maupun sholawat), ta’lim afkar, khotmil qur’an, dan lain sebagainya dengan bertujuan untuk mempertebal keimanan, ketakwaan, pengendalian nafsu, dan akhlakul karimah.

Pendidikan umum dan agama merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena keduanya saling melengkapi dan mempengaruhi. Orang yang menempuh pendidikan umum tanpa memperhatikan pendidikan agama bagaikan singa yang tak bertuan, artinya ilmu yang diperoleh tersebut bisa berdampak buruk. Akan tetapi jika orang yang menempuh pendidikan umum disertai pendidikan agama, maka ilmu umum yang diperoleh tersebut akan berdampak pada kebaikan, karena pendidikan agama yang diperoleh akan mengontrol pendidikan umum yang diperoleh. Contoh, seorang dokter spesialis kandungan (yang tidak memiliki ilmu agama) berpotensi besar melakukan praktek aborsi kepada pasien yang memintanya, karena bisa saja tergiur dengan bayaran (fee) yang diberi oleh si pasien. Hal ini bisa terjadi karena ilmu agamanya yang kurang, sehingga membuat keimanan dan ketakwaannya terhadap Allah SWT sangat kurang, dan akhirnya sang dokter tersebut mau melakukan praktek aborsi tersebut. Berbeda dengan seorang dokter spesialis kandungan (yang memiliki ilmu agama), dia tidak akan mau melakukan praktek aborsi sekalipun diiming-imingi dengan bayaran yang besar, karena dia tahu bahwa perbuatan aborsi adalah haram. Maka dari itu, pendidikan umum dan agama harus berjalan berdampingan, layaknya kita berjalan dengan dua kaki yang normal.

Melihat perkembangan pendidikan anak sekarang, banyak anak-anak sekolah dasar (SD/MI), dan sekolah menengah (SMP/MTs dan SMA/MA) lebih memilih dan mengutamakan pendidikan umum, di sisi lain mereka menomorduakan pendidikan agama (Islam). Ketika saya duduk di bangku SMA dulu, saya menjadi anggota Organisasi Takmir Masjid Sekolah (ekstra kerohanian Islam atau Rohis). Organisasi takmir tersebut mempunyai program kegiatan sholat dzuhur berjamaah, kajian kitab Durrotun Nasihin setelah sholat magrib sampai menjelang sholat isya pada hari rabu, istighosah pada malam jum’at setelah sholat magrib sampai menjelang sholat isya, dan kegiatan pengajian Ahad pagi (PAP) satu bulan sekali. Kegiatan-kegiatan tersebut pun kurang begitu diminati para siswa. Pada kegiatan sholat dzuhur berjamaah, walaupun sudah dijadwal setiap kelas hanya mengikuti sekali dalam seminggu tetap saja para siswa yang mengikutinya sedikit. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan kajian kitab Durrotun Nasihin, walaupun hanya seminggu sekali, peminatnya tetap sedikit, apalagi kegiatan istighosah, para siswa hanya minat mengikuti kegiatan istighosah ketika menjelang ujian semester saja. Semua kegiatan tersebut murni pengembangan potensi rohaniah, dan semua kegiatan tersebut gratis tanpa dipungut biaya, bahkan untuk kegiatan Istighosah dan Pengajian Ahad Pagi, takmir memberikan konsumsi kepada para peserta para siswa yang tidak mengikuti kegiatan beralasan karena lagi les/bimbel, karena tidak diizinkan orang tua, karena banyak tugas, dan yang lainnya. 

Kemudian, ketika saya menempuh pendidikan tinggi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada Juli 2012, saya menempuh pendidikan di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) selama satu tahun. Menurut Dr. K.H. Isroqunnajah, M.Ag., ma’had merupakan lembaga yang berperan dalam pengembangan akhlak dan spiritual mahasiswa. Oleh karena itu, program-program kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yaitu; kegiatan sholat subuh berjamaah, pembacaan dzikir wirdul latif, shobahullugoh, taklim al-qur’an dan afkar, tahseh al-Qur’an dan sholat magrib berjamaah. Lagi-lagi, teman-teman seangkatan dan satu asrama (mabna) dengan saya, kurang meminati kegiatan ma’had tersebut. Seandainya  mengikuti kegiatan ma’had, mereka datangnya telat tetapi pulangnya minta lebih. Kejadian yang sama, saya temukan berulang-ulang ketika saya menjadi musyrif mulai Agustus 2013 sampai november 2016, bahwa mahasiswa baru kurang berminat mengikuti dan melaksanakan kegiatan ma’had tersebut. Mereka lebih memilih dan lebih senang mengikuti perkuliahan reguler dengan alasan yang biasa digunakan mereka (para maba tersebut) yaitu “saya disini untuk kuliah, bukan untuk mondok”. Selain itu, ada beberapa kasus-kasus yang saya temui, pertama para maba tersebut datang telat ketika mengikuti kegiatan (baik shobahullugoh maupun taklim afkar dan al-qur’an), tetapi mereka mintak kepada ustadz/ah atau kepada musyrifnya untuk pulang tepat waktu, dengan alasan persiapan untuk perkuliahan reguler, padahal mereka (para maba tersebut) datang lebih pagi pun dosennya belum datang. Kedua ada beberapa maba tersebut izin sakit kepada musyrif/ahnya untuk tidak mengikuti kegiatan sholat subuh berjamaah, shobahullugoh, dan taklim afkar/al-qur’an, tetapi maba tersebut masuk kuliah reguler di kampus sampai sore. 

Kejadian-kejadian yang saya temukan ketika masih duduk di bangku SMA dan perguruan tinggi, khususnya dua kejadian tersebut (sudah saya sebutkan pada diakhir paragraf ke-6), saya namakan dengan istilah fenomena menggapai kesuksesan dengan cara menganaktirikan pendidikan.  Mereka menginginkan sebuah kesuksesan (bisa berupa karir di dunia dan keselamatan di akhirat) dengan cara mengikuti kegiatan perkuliahan reguler atau sekolah umum (pengembangan potensi jasmani) tetapi mengabaikan pendidikan agama atau kegiatan ma’had (pengembangan potensi rohani). Seharusnya, pendidikan umum dan pendidikan agama yang diikuti dan dijalani anak-anak dan para mahasiswa tersebut haruslah seimbang, yaitu 50% pendidikan umum dan 50% pendidikan agama, karena hal ini menyangkut pengembangan dua potensi yang mereka miliki. Supaya bisa berjalan secara selaras dan beriringan.

Saya kurang begitu mengetahui secara pasti kenapa anak-anak atau mahasiswa sekarang lebih memilih pendidikan umum dan mengabaikan pendidikan agama? Pertanyaan ini berusaha saya renungkan dan saya pikirkan, sehingga muncullah  asumsi  untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya berasumsi bahwa mungkin anak-anak dan atau mahasiswa tersebut memiliki pemikiran bahwa prestasi akademik dapat menentukan kesuksesan dalam dunia kerja dan keberlangsungan karir, melihat sistem pendidikan yang ada di negara-negara lain. Pemikiran yang seperti ini bisa saja melihat dari sistem dan tradisi pendidikan yang ada di Eropa  seperti Inggris, prancis, Jerman, dan bisa juga melihat pendidikan yang ada di Amerika serta pendidikan yang ada di Jepang dan korea yang mana negara-negara tersebut hanya memfokuskan pendidikan umum (pengembangan potensi jasmani) saja, dan tidak memperhatikan pendidikan agama (pengembangan potensi rohani) mereka. 

Jika asumsi saya tersebut menurut pembaca benar, maka dari itu para pembaca (yang merasa mengabaikan pendidikan agama/mengabaikan kegiatan ma’had). Jauh sebelum Eropa mengalami peradaban seperti sekarang ini, umat Islam pernah mencapai dan mengalami peradaban selama delapan abad (abad ke-8 M - ke-15 M). Selama delapan abad tersebut, melahirkan ilmuan-ilmuan muslim yang terkenal seperti Al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037 M.), Ibnu Kholdun (1332-1406 M.), Ibnu Rusyd (1126-1198 M.), al-Ghazali (1058-1111 M.), ar-Razi (856-925 M.), al-Batani (859-929 M.), al-Khawarizmi (780-850 M.), Umar Khayyam (1048-1131 M.), Abul Wafa (940-998 M.), dan masih banyak lagi yang tidak saya sebutkan. Beberapa dari nama-nama ilmuan tersebut dipakai oleh UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sebagai nama-nama gedung ma’had (mabna) putra dengan harapan nantinya para lulusan MSAA dan UIN bisa menjadi para ilmuan muslim seperti mereka. Para tokoh ilmuan muslim tersebut, selain menguasai ilmu bidang umum (filsafat, kedokteran, matematika, astronomi, dll.), mereka juga menguasai ilmu agama (seperti hafal al-Qur’an, Tafsir, hadist, fiqih, teologi Islam, tasawuf, dll.).

Oleh karena itu, dari semua paparan di atas. Mari kita kembangkan potensi yang kita miliki ini dengan semangat mengikuti dan menjalani proses pendidikan umum/perkuliahan dan proses pendidikan agama/ma’had secara seimbang. Jangan mengabaikan pendidikan agama untuk meraih kesuksesan akademik, karena para pendahulu kita (ilmuan muslim terdahulu) telah mencontohkan bahwa mereka ahli dalam bidang ilmu umum dan bidang agama. Kalau orang-orang Eropa bisa mencapai masa kejayaan dengan dikotomi ilmu dan agama, maka orang islam harus bangkit untuk mencapai kejayaan Islam dengan integrasi Ilmu dan agama.
Wallahua’lam . . . 




Previous Post
Next Post

0 komentar: