Patriarki dan Kepemimpinan Perempuan
Oleh : Fadhil Achmad Agus Bahari (Co RnD 2020-2021)
Email : 2016fadhil@gmail.com
Penikmat tulisan ini pasti pernah
mendengar isu hak memimpin bagi perempuan, isu yang pada era modern ini masih
jadi topik dalam acara seminar atau tersebar melalui berbagai platform.
Persoalan ini tak jarang dibentur-benturkan dengan budaya patriarki, bahkan
Islam sering jadi bulan-bulanan aktivis feminisme. Pastinya ketika ada seruan
tentang kesetaraan, berarti ada masalah ketidakadilan, baik itu terjadi dalam
konteks bahasan kali ini atau diberbagai bidang lain. Penulis hanya akan
memanjakan otak pembaca dengan topik kepemimpinan, nantinya akan dikerucutkan
kepada tujuan Islam mengatur hal tersebut.
Budaya
dominasi salah satu gender tidak hanya berkutat pada laki-laki atas perempuan,
atau istilahnya patriarki, ternyata dominasi perempuan atas laki-laki juga ada
pada beberapa budaya masyarakat, istilah yang digunakan adalah matriarki. Kedua
budaya ini didasari atas esensi yang sama, yaitu dominasi salah satu gender
terhadap lainnya dalam banyak aspek, seperti politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Di tanah Arab, budaya patriarki yang mendominasi, sedangkan matriarki terdapat
di beberapa daerah Afrika dan Asia. Pembaca bisa browsing sendiri dan
mempelajari kedua budaya tersebut di internet, karena penulis hanya akan
menggaris bawahi persoalan hak memimpin bagi kedua gender.
Realita di dunia hingga kini,
dominasi gender atas gender lain kerap menjadi polemik. Walaupun tampaknya,
gerakan feminisme lebih gencar terjadi dimana-mana. Faktor yang
melatarbelakangi hal tersebut bukan hanya patriarki, gerakan ini semakin booming
saat kasus kejahatan atas perempuan banyak terekspos di media massa. Mulai dari
kejahatan dalam rumah tangga (KDRT), eksploitasi wanita dalam pekerjaan, sampai
pelecehan bahkan kekerasan seksual. Tentu pelakunya adalah laki-laki, jika
pelakunya perempuan mana mungkin ada gerakan yang menyuarakan hak dan
perlindungan bagi perempuan. Berangkat dari realita inilah, suara-suara keras
wanita meminta diposisikan sama dengan laki-laki, salah satunya pada aspek
kepemimpinan.
Jika kita berbicara tentang budaya
patriarki dalam konteks kepemimpinan, maka tak bisa lepas dari hal ihwal
bagaimana budaya itu terbentuk. Tiap masyarakat pasti memiliki latarbelakang
pembentukan yang beragam, budaya patriarkinya pun berbeda-beda. Akan tetapi,
secara umum, sebab yang sering digaung-gaungkan di mana-mana adalah sisi
biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki, baik dari segi fisik maupun
emosional. Kendatipun tidak menutup kemungkinan adanya perempuan yang secara
fisik atau emosional seperti laki-laki, umum atau mayoritasnya perempuan tidak
memiliki kekuatan fisik dan kestabilan emosional seperti laki-laki. Hanya saja
penulis bertanya-tanya, apakah dengan alasan biologis perempuan bisa ditempat
posisikan pada level kedua dalam kepemimpinan?.
Sejenak
mari mengulang pelajaran biologi, bab tentang aktifitas hormonal pada manusia,
materi yang dulu kita pelajari saat masih mengenakan seragam sekolah. Pada
laki-laki disebut dengan hormon testosteron, pada perempuan disebut hormon
estrogen dan progesteron. Sebenarnya hormon testosteron terdapat pula pada
perempuan, hanya jumlahnya tak sebanyak pada laki-laki. Kedua hormon perempuan
memiliki fungsi yang berbeda, estrogen berperan penting dalam proses reproduksi dan mengembangkan
karakteristik seksual wanita, seperti pertumbuhan payudara, bentuk tubuh, dan
pengaturan siklus menstruasi. Sementara progesteron lebih berperan
dalam mengatur siklus menstruasi dan mendukung terjadinya kehamilan, seperti
menyiapkan lapisan rahim untuk sel telur yang telah dibuahi dan menekan
produksi estrogen setelah ovulasi.
Seperti yang kita
tahu, perempuan memiliki siklus spesial yang disebut dengan menstruasi.
Siklus ini berpengaruh terhadap perubahan hormonal, hal ini normal terjadi pada
wanita, tidak hanya saat menstruasi, hal ini terjadi pula saat sebelum dan
selama mentruasi, saat hamil, pasca
melahirkan, serta menjelang menopause. Perubahan
hormon ini menyebabkan wanita mengalami mood swing atau suasana hati yang tak menentu, efeknya
terjadi pada sisi emosional mereka, mudah marah, sedih, tersinggung, malas,
bahkan depresi. Dalam kasus
hormonal ini, estrogen adalah pelaku utamanya, ia merupakan jenis hormon yang
sangat berkaitan dengan perubahan suasana hati tersebut. Hal ini karena
estrogen juga ikut memengaruhi fungsi otak yang mengontrol emosi dan suasana
hati. Pada
masa premenstrual
syndrome (PMS), misalnya. Perubahan kadar estrogen menjelang haid akan
memengaruhi kerja serotonin, yaitu senyawa kimia di otak bertugas mengatur
emosi dan suasana hati. Lebih lengkapnya, pembaca bisa ulas di https://www.alodokter.com/mengatasi-emosi-akibat-perubahan-hormon-pada-wanita.
Kembali pada topik
kepemimpinan, mengetahui fakta ilmiah di atas, sedikit bisa memberikan alasan
mengapa perempuan tidak mendapat posisi yang setara dengan laki-laki. Dalam
memimpin dibutuhkan kestabilan emosional, jika sewaktu-waktu emosi pemimpin
yang tidak stabil, akan sangat mempengaruhi terhadap keputusan yang diambil
atau langkah-langkahnya ketika menghadapi sebuah masalah. Oleh karenanya,
peluang kepemimpinan lebih didominasi oleh kalangan adam. Pertanyaannya, apa
hubungan antara budaya patriarki konteks kepemimpinan dengan fakta hormonal
perempuan?.
Untuk memberikan
gambaran umum tentang budaya kepemimpinan patriarki, penulis ingin mengajak
pembaca untuk memahami sesi ini. Penulis membagi sesi ini menjadi dua bagian,
bagian pertama adalah pembentukan peran laki-laki di masyarakat, dan
pembentukan peran perempuan pada bagian kedua. Pertama, laki-laki
memiliki kekuatan fisik dari pada perempuan, sehingga memiliki peluang
besar untuk masuk di berbagai bidang pekerjaan. Selain kekuatan fisik, laki-laki
memiliki kestabilan emosional yang memungkinkannya berperan ganda, sebagai
pencari nafkah sekaligus pemimpin, baik skala keluarga maupun masyarakat. Kedua,
perempuan yang memiliki keterbatasan kekuatan fisik tidak memungkinkan untuk menjalani
peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pemimpin, apalagi harus menjalani
masa kehamilan sampai menyapih anaknya. Mengetahui posisinya sebagai istri dan pekerjaan
suami yang menguras tenaga dan waktu, maka secara otomatis akan terjadi pembagian
pekerjaan, yakni perempuan bergerak di sektor domestik atau kerumahtanggaan dan
laki-laki di sektor eksternal atau pekerjaan.
Gambaran di
atas terjadi berulang-ulang dan masif oleh masyarakat, hingga pada masanya
masyarakat akan menganggap hal tersebut sebagai kebiasaan. Takala kebiasaan
tersebut sudah terinternalisasi menjadi pola pikir, maka secara otomatis
kebiasaan tersebut telah menjadi adat, yang mana hal-hal berbeda akan dipandang
tidak biasa atau aneh, karena umumnya manusia akan merasa tidak nyaman ketika
keluar atau melihat sesuatu berbeda dari kebiasaannya. ‘Berbeda’ dalam gambaran
tersebut ialah seperti seorang perempuan yang memimpin rumah tangga dan
bekerja, sedang laki-laki menjadi domestic worker. Proses inilah yang
oleh penulis digambarkan sebagai pembentukan budaya, tentu ada pengecualian
atau kasus-kasus khusus, gambaran tersebut sekedar untuk memberikan pemahaman
sederhana kepada pembaca.
Masyarakat dalam
budaya kepemimpinan patriarki terkadang memberi stigma terhadap aktifitas
perempuan yang aktif studi, seakan memberi batasan kepada perempuan untuk tidak
melanjutkan studinya. Sebagian berkata “gawe opo sekolah duwur wong tugase
mung melumah, masak lan manak” (buat apa sekolah tinggi kalau nanti
tugasnya hanya melayani suami, masak dan beranak). Secara tidak
langsung, hal tersebut sama saja memarjinalkan perempuan pada posisi di bawah
bayang-bayang laki-laki, sekedar jadi istri tidak perlu sekolah tinggi-tinggi,
yang penting jago masak, bisa bersih-bersih dan aktif melayani suami. Jangankan
membayangkan punya pekerjaan dan aktif di dunia organisasi, menjadi sarjana
hanya untuk menjadi daya tarik calon suami. Berdasarkan semua penjelasan
sebelumnya, maka tidak ada tempat sebagai pemimpin bagi perempuan dalam budaya
patriarki.
Tidak ada yang
yang benar-benar baik ketika sesuatu cenderung ke gender tertentu, tidak ada
yang baik tatkala sesuatu terjadi berlebihan. Baik budaya patriarki atau
matriarki, jika akhirnya ada pihak yang dirugikan, maka gerakan-gerakan
perubahan perlu diusahakan. Dalam konteks kepemimpinan, Islam terlihat sekilas
sama dengan patriarki. Menempatkan laki-laki di atas perempuan, mendahulukan
kepemimpinan laki-laki dari lainnya. Akan tetapi Islam tidak mendasari dirinya
atas adat dan kebiasaan, ada pula perbedaan dalam kriteria seorang pemimpin
menurut Islam dengan budaya patriarki. Kesemuanya itu didasari atas prinsip preventif,
yakni dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih (menghindari
kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil manfaat).
Mendahulukan
laki-laki dari pada perempuan bukan berarti mutlak bahwa perempuan tidak boleh
memimpin, terdapat ketentuan level kepemimpinan yang dibolehkan Islam terhadap
perempuan, kecuali seperti menjadi pemimpin umat (baca: khalifah). Apa artinya
tidak mutlak tidak dibolehkan memimpin?, yaitu ketika laki-laki sebagai calon pemimpin
adalah orang yang tidak adil, sedangkan calon perempuan adalah sosok yang adil,
maka perempuan lebih dipilih. Bukan karena keduanya memiliki hak yang sama,
akan tetapi karena unsur lain yang dipertimbangkan. Pertanyaannya, sepenting
apakah Islam mendahulukan laki-laki atas perempuan dalam kepemimpinan dan
mengapa perempuan tidak didahulukan?
Esensi
kepemimpinan adalah beban tanggung jawab yang akan diamanahkan kepada seseorang
yang diberi kemampuan atas itu, karena memimpin bukan perkara ringan yang semua
orang berhak mengembannya, bahkan tanpa melihat melalui perspektif Islam pun,
telah ada sistem pemilihan yang menyeleksi secara ketat kandidat pemimpin suatu
komunitas. Antara laki-laki dan perempuan, laki-lakilah yang anugrahi kelebihan
tersebut, supaya laki-laki mampu mengayomi masyarakat khususnya perempuan.
Selebihnya pembaca bisa melihat penafsiran ayat ke 34 surat an-Nisa’.
Secara
general memang tidak bisa dikatakan bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan
tersebut, apalagi pada era modern ini yang mana kompetisi antara laki-laki dan
perempuan sudah tidak jarang kita saksikan. Kecuali ranah kekuatan fisik, banyak
perlombaan kecerdasan, kreatifitas dan inovasi diikuti dan dimenangkan oleh
perempuan, kita tidak bisa menutupi realita tersebut. Namun kita juga tidak
boleh menutup mata akan fakta biologis perempuan, oleh karenanya Islam pada
mulanya memberikan beban kepemimpinan pada manusia, laki-laki dan perempuan.
Hanya dalam rangka untuk dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih,
maka pemimpin laki-laki lebih didahulukan atas perempuan dengan syarat dia
seorang muslim, adil dan cakap dalam memimpin. Hal ini juga berlaku sebaliknya,
yaitu ketika seorang laki-laki yang mulanya dianugrahi kemampuan tersebut namun
tidak menggunakannya dengan baik, cenderung distruktif dan apatis. Sedangkan
ada pilihan lain, yaitu perempuan muslimah, terkenal sebagai orang yang adil
dan cakap dalam memimpin, maka perempuanlah yang dipilih. Tanpa menghilangkan
ketentuan bahwa laki-laki lebih diutamakan, akan tetapi dalam konteks ini
berlaku konsep kedaruratan. Artinya nilai kemaslahatan tetap menjadi
pertimbangan dengan lebih dahulu menghindari kemudaratan.
Esensi memimpin
atau bahasa al-Qur’an adalah khalifah –sebagaimana tertuang dalam surat
al-Baqarah ayat 30-, adalah amanah yang dibebankan kepada manusia seluruhnya.
Namun Tuhan memberikan porsi tugas kehidupan yang berbeda bagi laki-laki dan
perempuan, dalam rangka menjaga eksistensi manusia maka ada yang namanya
berkembang biak atau reproduksi. Walaupun laki-laki juga memiliki peran dalam
aspek tersebut, tanggung jawab, support atas perempuan, perhatian dan kehadiran
materi. Tetaplah perempuan yang paling
disiapkan oleh Tuhan untuk mengemban tugas ini. Oleh karenanya Tuhan
menganugrahkan kemampuan multitasking, kedalaman perasaan dan kelembutan
kepada perempuan, dengan resiko biologis yang telah disebutkan di muka.
0 komentar: