Selasa, 29 September 2020

Patriarki dan Kepemimpinan Perempuan

 

Patriarki dan Kepemimpinan Perempuan

Oleh : Fadhil Achmad Agus Bahari (Co RnD 2020-2021)

Email : 2016fadhil@gmail.com


Source : Dokumen Pribadi

         Penikmat tulisan ini pasti pernah mendengar isu hak memimpin bagi perempuan, isu yang pada era modern ini masih jadi topik dalam acara seminar atau tersebar melalui berbagai platform. Persoalan ini tak jarang dibentur-benturkan dengan budaya patriarki, bahkan Islam sering jadi bulan-bulanan aktivis feminisme. Pastinya ketika ada seruan tentang kesetaraan, berarti ada masalah ketidakadilan, baik itu terjadi dalam konteks bahasan kali ini atau diberbagai bidang lain. Penulis hanya akan memanjakan otak pembaca dengan topik kepemimpinan, nantinya akan dikerucutkan kepada tujuan Islam mengatur hal tersebut.

         Budaya dominasi salah satu gender tidak hanya berkutat pada laki-laki atas perempuan, atau istilahnya patriarki, ternyata dominasi perempuan atas laki-laki juga ada pada beberapa budaya masyarakat, istilah yang digunakan adalah matriarki. Kedua budaya ini didasari atas esensi yang sama, yaitu dominasi salah satu gender terhadap lainnya dalam banyak aspek, seperti politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Di tanah Arab, budaya patriarki yang mendominasi, sedangkan matriarki terdapat di beberapa daerah Afrika dan Asia. Pembaca bisa browsing sendiri dan mempelajari kedua budaya tersebut di internet, karena penulis hanya akan menggaris bawahi persoalan hak memimpin bagi kedua gender.

            Realita di dunia hingga kini, dominasi gender atas gender lain kerap menjadi polemik. Walaupun tampaknya, gerakan feminisme lebih gencar terjadi dimana-mana. Faktor yang melatarbelakangi hal tersebut bukan hanya patriarki, gerakan ini semakin booming saat kasus kejahatan atas perempuan banyak terekspos di media massa. Mulai dari kejahatan dalam rumah tangga (KDRT), eksploitasi wanita dalam pekerjaan, sampai pelecehan bahkan kekerasan seksual. Tentu pelakunya adalah laki-laki, jika pelakunya perempuan mana mungkin ada gerakan yang menyuarakan hak dan perlindungan bagi perempuan. Berangkat dari realita inilah, suara-suara keras wanita meminta diposisikan sama dengan laki-laki, salah satunya pada aspek kepemimpinan.

            Jika kita berbicara tentang budaya patriarki dalam konteks kepemimpinan, maka tak bisa lepas dari hal ihwal bagaimana budaya itu terbentuk. Tiap masyarakat pasti memiliki latarbelakang pembentukan yang beragam, budaya patriarkinya pun berbeda-beda. Akan tetapi, secara umum, sebab yang sering digaung-gaungkan di mana-mana adalah sisi biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki, baik dari segi fisik maupun emosional. Kendatipun tidak menutup kemungkinan adanya perempuan yang secara fisik atau emosional seperti laki-laki, umum atau mayoritasnya perempuan tidak memiliki kekuatan fisik dan kestabilan emosional seperti laki-laki. Hanya saja penulis bertanya-tanya, apakah dengan alasan biologis perempuan bisa ditempat posisikan pada level kedua dalam kepemimpinan?.

            Sejenak mari mengulang pelajaran biologi, bab tentang aktifitas hormonal pada manusia, materi yang dulu kita pelajari saat masih mengenakan seragam sekolah. Pada laki-laki disebut dengan hormon testosteron, pada perempuan disebut hormon estrogen dan progesteron. Sebenarnya hormon testosteron terdapat pula pada perempuan, hanya jumlahnya tak sebanyak pada laki-laki. Kedua hormon perempuan memiliki fungsi yang berbeda, estrogen berperan penting dalam proses reproduksi dan mengembangkan karakteristik seksual wanita, seperti pertumbuhan payudara, bentuk tubuh, dan pengaturan siklus menstruasi. Sementara progesteron lebih berperan dalam mengatur siklus menstruasi dan mendukung terjadinya kehamilan, seperti menyiapkan lapisan rahim untuk sel telur yang telah dibuahi dan menekan produksi estrogen setelah ovulasi.

            Seperti yang kita tahu, perempuan memiliki siklus spesial yang disebut dengan menstruasi. Siklus ini berpengaruh terhadap perubahan hormonal, hal ini normal terjadi pada wanita, tidak hanya saat menstruasi, hal ini terjadi pula saat sebelum dan selama mentruasi, saat hamil, pasca melahirkan, serta menjelang menopause. Perubahan hormon ini menyebabkan wanita mengalami mood swing atau suasana hati yang tak menentu, efeknya terjadi pada sisi emosional mereka, mudah marah, sedih, tersinggung, malas, bahkan depresi. Dalam kasus hormonal ini, estrogen adalah pelaku utamanya, ia merupakan jenis hormon yang sangat berkaitan dengan perubahan suasana hati tersebut. Hal ini karena estrogen juga ikut memengaruhi fungsi otak yang mengontrol emosi dan suasana hati. Pada masa premenstrual syndrome (PMS), misalnya. Perubahan kadar estrogen menjelang haid akan memengaruhi kerja serotonin, yaitu senyawa kimia di otak bertugas mengatur emosi dan suasana hati. Lebih lengkapnya, pembaca bisa ulas di https://www.alodokter.com/mengatasi-emosi-akibat-perubahan-hormon-pada-wanita.

            Kembali pada topik kepemimpinan, mengetahui fakta ilmiah di atas, sedikit bisa memberikan alasan mengapa perempuan tidak mendapat posisi yang setara dengan laki-laki. Dalam memimpin dibutuhkan kestabilan emosional, jika sewaktu-waktu emosi pemimpin yang tidak stabil, akan sangat mempengaruhi terhadap keputusan yang diambil atau langkah-langkahnya ketika menghadapi sebuah masalah. Oleh karenanya, peluang kepemimpinan lebih didominasi oleh kalangan adam. Pertanyaannya, apa hubungan antara budaya patriarki konteks kepemimpinan dengan fakta hormonal perempuan?.

            Untuk memberikan gambaran umum tentang budaya kepemimpinan patriarki, penulis ingin mengajak pembaca untuk memahami sesi ini. Penulis membagi sesi ini menjadi dua bagian, bagian pertama adalah pembentukan peran laki-laki di masyarakat, dan pembentukan peran perempuan pada bagian kedua. Pertama, laki-laki memiliki kekuatan fisik dari pada perempuan, sehingga memiliki peluang besar untuk masuk di berbagai bidang pekerjaan. Selain kekuatan fisik, laki-laki memiliki kestabilan emosional yang memungkinkannya berperan ganda, sebagai pencari nafkah sekaligus pemimpin, baik skala keluarga maupun masyarakat. Kedua, perempuan yang memiliki keterbatasan kekuatan fisik tidak memungkinkan untuk menjalani peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pemimpin, apalagi harus menjalani masa kehamilan sampai menyapih anaknya. Mengetahui posisinya sebagai istri dan pekerjaan suami yang menguras tenaga dan waktu, maka secara otomatis akan terjadi pembagian pekerjaan, yakni perempuan bergerak di sektor domestik atau kerumahtanggaan dan laki-laki di sektor eksternal atau pekerjaan.

Gambaran di atas terjadi berulang-ulang dan masif oleh masyarakat, hingga pada masanya masyarakat akan menganggap hal tersebut sebagai kebiasaan. Takala kebiasaan tersebut sudah terinternalisasi menjadi pola pikir, maka secara otomatis kebiasaan tersebut telah menjadi adat, yang mana hal-hal berbeda akan dipandang tidak biasa atau aneh, karena umumnya manusia akan merasa tidak nyaman ketika keluar atau melihat sesuatu berbeda dari kebiasaannya. ‘Berbeda’ dalam gambaran tersebut ialah seperti seorang perempuan yang memimpin rumah tangga dan bekerja, sedang laki-laki menjadi domestic worker. Proses inilah yang oleh penulis digambarkan sebagai pembentukan budaya, tentu ada pengecualian atau kasus-kasus khusus, gambaran tersebut sekedar untuk memberikan pemahaman sederhana kepada pembaca.

                Masyarakat dalam budaya kepemimpinan patriarki terkadang memberi stigma terhadap aktifitas perempuan yang aktif studi, seakan memberi batasan kepada perempuan untuk tidak melanjutkan studinya. Sebagian berkata “gawe opo sekolah duwur wong tugase mung melumah, masak lan manak” (buat apa sekolah tinggi kalau nanti tugasnya hanya melayani suami, masak dan beranak). Secara tidak langsung, hal tersebut sama saja memarjinalkan perempuan pada posisi di bawah bayang-bayang laki-laki, sekedar jadi istri tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting jago masak, bisa bersih-bersih dan aktif melayani suami. Jangankan membayangkan punya pekerjaan dan aktif di dunia organisasi, menjadi sarjana hanya untuk menjadi daya tarik calon suami. Berdasarkan semua penjelasan sebelumnya, maka tidak ada tempat sebagai pemimpin bagi perempuan dalam budaya patriarki.

            Tidak ada yang yang benar-benar baik ketika sesuatu cenderung ke gender tertentu, tidak ada yang baik tatkala sesuatu terjadi berlebihan. Baik budaya patriarki atau matriarki, jika akhirnya ada pihak yang dirugikan, maka gerakan-gerakan perubahan perlu diusahakan. Dalam konteks kepemimpinan, Islam terlihat sekilas sama dengan patriarki. Menempatkan laki-laki di atas perempuan, mendahulukan kepemimpinan laki-laki dari lainnya. Akan tetapi Islam tidak mendasari dirinya atas adat dan kebiasaan, ada pula perbedaan dalam kriteria seorang pemimpin menurut Islam dengan budaya patriarki. Kesemuanya itu didasari atas prinsip preventif, yakni dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih (menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil manfaat).

            Mendahulukan laki-laki dari pada perempuan bukan berarti mutlak bahwa perempuan tidak boleh memimpin, terdapat ketentuan level kepemimpinan yang dibolehkan Islam terhadap perempuan, kecuali seperti menjadi pemimpin umat (baca: khalifah). Apa artinya tidak mutlak tidak dibolehkan memimpin?, yaitu ketika laki-laki sebagai calon pemimpin adalah orang yang tidak adil, sedangkan calon perempuan adalah sosok yang adil, maka perempuan lebih dipilih. Bukan karena keduanya memiliki hak yang sama, akan tetapi karena unsur lain yang dipertimbangkan. Pertanyaannya, sepenting apakah Islam mendahulukan laki-laki atas perempuan dalam kepemimpinan dan mengapa perempuan tidak didahulukan?

            Esensi kepemimpinan adalah beban tanggung jawab yang akan diamanahkan kepada seseorang yang diberi kemampuan atas itu, karena memimpin bukan perkara ringan yang semua orang berhak mengembannya, bahkan tanpa melihat melalui perspektif Islam pun, telah ada sistem pemilihan yang menyeleksi secara ketat kandidat pemimpin suatu komunitas. Antara laki-laki dan perempuan, laki-lakilah yang anugrahi kelebihan tersebut, supaya laki-laki mampu mengayomi masyarakat khususnya perempuan. Selebihnya pembaca bisa melihat penafsiran ayat ke 34 surat an-Nisa’.

            Secara general memang tidak bisa dikatakan bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan tersebut, apalagi pada era modern ini yang mana kompetisi antara laki-laki dan perempuan sudah tidak jarang kita saksikan. Kecuali ranah kekuatan fisik, banyak perlombaan kecerdasan, kreatifitas dan inovasi diikuti dan dimenangkan oleh perempuan, kita tidak bisa menutupi realita tersebut. Namun kita juga tidak boleh menutup mata akan fakta biologis perempuan, oleh karenanya Islam pada mulanya memberikan beban kepemimpinan pada manusia, laki-laki dan perempuan. Hanya dalam rangka untuk dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih, maka pemimpin laki-laki lebih didahulukan atas perempuan dengan syarat dia seorang muslim, adil dan cakap dalam memimpin. Hal ini juga berlaku sebaliknya, yaitu ketika seorang laki-laki yang mulanya dianugrahi kemampuan tersebut namun tidak menggunakannya dengan baik, cenderung distruktif dan apatis. Sedangkan ada pilihan lain, yaitu perempuan muslimah, terkenal sebagai orang yang adil dan cakap dalam memimpin, maka perempuanlah yang dipilih. Tanpa menghilangkan ketentuan bahwa laki-laki lebih diutamakan, akan tetapi dalam konteks ini berlaku konsep kedaruratan. Artinya nilai kemaslahatan tetap menjadi pertimbangan dengan lebih dahulu menghindari kemudaratan.

            Esensi memimpin atau bahasa al-Qur’an adalah khalifah –sebagaimana tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 30-, adalah amanah yang dibebankan kepada manusia seluruhnya. Namun Tuhan memberikan porsi tugas kehidupan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan, dalam rangka menjaga eksistensi manusia maka ada yang namanya berkembang biak atau reproduksi. Walaupun laki-laki juga memiliki peran dalam aspek tersebut, tanggung jawab, support atas perempuan, perhatian dan kehadiran materi.  Tetaplah perempuan yang paling disiapkan oleh Tuhan untuk mengemban tugas ini. Oleh karenanya Tuhan menganugrahkan kemampuan multitasking, kedalaman perasaan dan kelembutan kepada perempuan, dengan resiko biologis yang telah disebutkan di muka.


Previous Post
Next Post

0 komentar: