Krisis Toleransi dalam Masyarakat Majemuk
Oleh: Khulafaur Rosyidin (Murabbi Al Farabi)
Seringkali
orang-orang tidak bisa menaruh toleransi kepada individu atau kelompok lain yang
berbeda karena menilai sebuah perkara hanya melalui cara berpikirnya, cara
pandangnya sendiri.
HI-Seringkali orang-orang tidak bisa
menaruh toleransi kepada individu atau kelompok lain yang berbeda karena menilai
sebuah perkara hanya melalui cara berpikirnya, cara pandangnya sendiri. persepektif yang tertanam sebagai mindset
tersebut menjadikan mereka seolah-olah
pemilik kebenaran mutlak, kemudian melegitimasinya sebagi tolak ukur untuk menilai
dan menghakimi orang atau kelompok lain dengan predikat “salah”. Padahal jikalau
seseorang mau keluar dari dirinya dan masuk ke dalam diri orang lain, maka dia
akan menemukan kecacatan pada dirinya sendiri, bahkan lebih. Secara sederhana,
orang perlu berpikir dengan memposisikan diri sebagai orang lain yang mempunyai
perspektif kebenaran yang berbeda tentang suatu hal, tentu dia akan melihat
dirinya sebagai orang yang menyimpang pula. Maka, ketika kelompok masyarakat
syi’ah sampang dihakimi oleh
warga dengan dibakar rumahnya dan diusir dari tanah kelahirannya sebab memiliki
paham berbeda mengenai agama merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan. Hal ini
karena penghakim hanya melihat kebenaran suatu aliran agama berdasarkan perspektif
ajaran yang diterimanya saja sehingga menyematkan predikat “salah” dan “sesat”
kepada mereka.
Tak seorangpun
berhak menghakimi orang lain salah jika hal itu bermuara pada keyakinan.
Apalagi jika dasar yang digunakan untuk menilai kebenaran merupakan referensi
yang berbeda, niscaya pemahaman yang didapat akan sangat berbeda. Misalnya,
kepercayaan tentang tuhan.
Kristen dan Katolik dengan rujukan Bible, Islam dengan Alqur’an, Hindhu
dengan Weda, Budha dengan Tripitaka, dan Kong Hu Cu melalui Wu Jing, Si Shu,
dan Xiao Jing akan menghasilkan pemahaman tentang Ketuhanan yang berbeda-beda.
Begitupula dengan kasus kelompok syi’ah dan Sunni di atas, dari terma nama aliran
saja sudah berbeda maka sudah barang tentu mereka memiliki referensi beragama
yang berbeda dan memunculkan perspektif Islam yang berbeda. Maka salah jika
sekelompok lain menghakimi dan saling memberikat cap “bathil” kepada
yang lain. Andaikata antar kelompok yang berbeda tersebut didudukkan bersama
untuk menemukan titik temu kebenaranpun tidak akan pernah bisa sebab perbedaan
rujukan. Oleh karena itu, seyogyanya seseorang melihat dirinya terlebih dahulu
melalui kacamata pemahaman orang lain sebelum menghakimi orang lain. Akan lebih
baik dalam hal ini jika kita berandai sebagai orang lain dengan beda
paradigmanya. Karena, kebenaran pada hakikatnya hanya perlu diyakini sekokoh-kokohnya
tanpa memaksakannya kepada orang lain. Laa ikraaha fiddiin (tidak ada
paksaan dalam agama) begitulah alquran memberi penjelasan tentang keyakinan.
Secara
sederhana penulis hendak menyatakan bahwa memahami perspektif orang lain adalah
esensial untuk menumbuhkan rasa toleransi. Orang perlu memahami kebenaran yang
diyakini orang lain dengan mengetahui perspektif mereka melalui referensi atau
rujukan-rujukan yang mereka pakai. Sebagaimana contoh Kasus Syi’ah sampang, maka orang sunni perlu mempelajari
dan memahami dasar rujukan syi’ah tersebut. Said Aqil Siradj pernah berujar
yang oleh sebagian kalangan dianggap kontroversial dalam bukunya “Tasawuf
sebagai kritik Sosial” bahwa lahirnya syi’ah dan aliran-aliran lain dalam Islam
patut disyukuri sebagai kekayaan khazanah pemikiran Islam. Jika dipahami lebih
jernih, pernyataan ini tidaklah kontroversial karena tidak ada salahnya
mempelajari keyakinan orang lain sebagai khazanah berpikir moderat dan luas.
Dengan mempelajari perspektif aliran-aliran tersebut orang akan semakin
merentangkan wawasan pengetahuan keagamaannya yang bermuara pada kokohnya
keyakinan yang dimiliki. Orang tidak hanya tahu kabar buruk suatu aliran saja,
apalagi hanya lewat cerita saja, hingga mendapatkan kesimpulan bahwa paham
selainnya adalah sesat dan menyesatkan. Selain itu, dengan wawasan tersebut
orang akan memahami kehendak orang lain yang tidak seragam dengannya. Kepahaman
yang diperoleh terhadap keragaman kehendak tersebutlah yang kemudian membangun
toleransi antar kelompok yang berbeda. Contoh sederhana, bagi anak kecil
kegemaran memainkan mobil remote kontrol merupakan kebahagiaan yang
tidak terkira karena orientasi kebahagian mereka adalah bermain. Berbeda dengan
orang dewasa yang setiap hari tidak bosan-bosannya bekerja menjalankan
bisnisnya karena ukuran kebahagiaan mereka adalah banyaknya uang dan harta.
Dari sini, bisa dipahami bahwa referensi kebahagiaan mereka sangatlah berbeda
walaupun muara tujuannya sama pada kebahagiaan, namun orang dewasa tidak serta
merta menilai perspektif anak kecil adalah salah dan sesat lalu memaksakan
perspektif ukuran kebahagiannya kepada mereka, apalagi sampai menghajar mereka.
Sebab, orang dewasa menaruh toleransi yang tinggi kepada anak kecil dan mungkin
menunggu sampai mereka dewasa dan mengerti sendiri kebahagian dengan ukuran
materi.
Gus Durpun pernah menyatakan bahwa semakin luas
pengetahuan seseorang, maka semakin tinggi rasa toleransinya. Toleransi akan
semakin dijunjung tinggi manakala orang telah banyak membaca dan mengetahui
keberagaman pespektif orang lain.
Orang akan semakin mudah bertoleransi ketika dia telah mengetahui bahwa orang lain memiliki tolak ukur yang berbeda terhadap suatu kebenaran. Ia akan menjadi sadar bahwa kebenaran yang diterimanya bukanlah satu-satunya kebenaran dalam kacamata umum. Kebenaran yang disandangnya akan disadarinya bersifat relatif sehingga pengakuan label kebenaran hakiki dan mutlak hanya untuk Tuhan saja.
picture from google.com
0 komentar: