Senin, 16 Juli 2018

Mewujudkan Nasionalisme Kebangsaan dalam Perspektif Alkitab dan Sejarah

Oleh: Ali Hasan Assidiqi
(Mahasiswa Jurusan PAI, Mabna Al- Faraby UIN Maliki Malang)



Negara dan agama merupakan dua hal yang sangat berperan dalam suatu kebangsaan. Namun saat ini, akankah kita pernah perhatikan mengapa banyak umat beragama saling menghancurkan hingga menyebabkan kerusakan, kerugian dan bahkan kematian terjadi dimana-mana? Mungkin penyebab utama salah satunya adalah kurangya kesadaran toleransi antar agama. Walau Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keamanan dalam agama, namun hal tersebut tidaklah sesuai dengan sekarang. Walaupun Negara Indonesia memiliki pancasila yang terdapat semboyan Bhineka Tunggal Ika, tetapi semua itu tidak lepas dari kata-kata toleransi dalam agama. Hingga bisa dikatakan pancasila butuh agama dan begitupun agama di Indonesia pasti butuh pancasila untuk mewujudkan negara Indonesia yang aman, damai, dan sejahtera.

Toleransi adalah bentuk atau menghormati alam dan memungkinkan pembentukan, pendapat, pandangan, keyakinan dan lain-lain yang berbeda dengan pendirian mereka sendiri terhadap manusia, alam, lingkungan dan lainnya (W.J.S. Purwadarminta). Jika dikaitkan dengan arti tersebut, maka makna yang terkandung dalam kata toleransi adalah suatu bentuk menghargai atau menghormati walau memiliki sudut pandang berbeda. Namun, jika dikaitkan dengan zaman di era globalisasi saat ini tentu tidaklah cocok. Mengapa? karena hal tersebut dapat kita lihat dengan masalah-masalah yang baru saja muncul hingga menyebabkan banyak kerugian seperti: serangan bom bunuh diri di depan Gedung Sarinah Jakarta Pusat (2016), pembakaran persujudan sanggar Candi Busana oleh sekelompok orang (2015), pelecehan ibadah agama Islam di Maluku (2015), pembakaran masjid di  Tolikara Papua (2015), Bentrok Aceh singkil (2015), pemerasan terhadap gereja-gereja di Jawa Barat (2016), penafsiran surat Al-Maidah ayat 15 oleh Ahok (2016) dan lainnya. Jika kita perhatikan dari hal tersebut, pasti dibenak kita mempertanyakan, apa yang terjadi di Indonesia saat ini? Tentu semua itu menjadi problematika yang harus kita sadari dan kita atasi di Negara Indonesia dalam hal toleransi antar umat beragama demi menjaga NKRI.

Toleransi juga tidak lepas dari hakikat manusia sebagai mahluk sosial yang mewajibkan mampu berinteraksi dengan individu atau manusia lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhannya untuk menjalani kehidupan sosial bermasyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok  yang memiliki perbedaan baik agama, ras, suku dan lainya terutama di negara kita yang disebut negara beribu-ribu pulau, suku, budaya yaitu “Indonesia”. Dari hal tersebut, maka tidak dapat kita pungkiri akan adanya gesekan-gesekan yang dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan agama, ras, suku, dan lainnya. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat, maka diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati atau yang disebut toleransi untuk menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut seperti yang terdapat dalam UUD, Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Walau Negara Indonesia kaya akan sebutan beribu-ribu pulau di laut yang memiliki pulau kurang lebih 17.504 pulau, kaya akan budaya hingga pada tanggal 26 Desember 2016 di On The Sport yang menyatakan Indonesia kaya akan penduduk, alam dan budaya. Tentu semua itu dalam hal menjaga keutuhan NKRI sangatlah sulit, jika hanya mengandalkan pondasi UUD 1945 dan Pancasila. Oleh karena itu, peran dari para tokoh agama, sejarah, masyarakat dan generasi muda juga sangat penting dalam mengatasi problematika tersebut. 

Jika kita tinjau dari sisi lain, bahwa sebenarnya semua agama itu berjalan mengarah pada satu tuhan, walau kadang akhlak dan pemahaman ajarannya berbeda. Apalagi tentang toleransi sejarah dalam perjuangan Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan juga tidak lepas dari toleransi agama yang ada.

Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, toleransi sudah diajari dalam alkitabnya. Seperti agama Islam, Budha, Hindu, Kristen Katolik, Kristen Protestan dan Konghucu yang diucapkan oleh masing-masing tokoh agama untuk selalu mengajarkan kepada kebaikan baik di dunia dan akhirat serta mengajarkan untuk menjauhi hal negatif. Salah satunya adalah mengajarkan untuk saling menghormati (toleransi) antar umat beragama baik itu di daerah mayoritas atau minoritas terhadap agama lainnya.

Dalam Agama Islam, toleransi termasuk ajaran yang sangat dianjurkan. Hal ini dapat dipahami dari Misi Agama Islam itu sendiri, yaitu damai dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Begitu pula halnya dalam menyebarkan agama. Islam jauh- jauh sudah mengingatkan agar jangan memaksakan keyakinan/agamanya kepada orang lain, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut (syaitan) dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya Islam telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” Oleh karena itu, dalam agama Islam toleransi atau saling menghargai dan tidak memaksakan kehendak seseorang sangat lah dianjurkan baik bagi siapapun termasuk manusia dan makhluk ciptaan Allah lainnya.

Dalam ajaran agama Katholik juga ditemui konsep tentang kerukunan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang sikap Gereja terhadap agama-agama lain didasarkan pada asal kisah rasul-rasul 17:26. Isi deklarasi tersebut menyatakan bahwa pada dasarya manusia itu memiliki hak yang sama, tidak boleh membeda-bedakannya mesti mereka berlainan agama. Sikap saling hormat-menghormati agar kehidupan menjadi rukun sangat dianjurkan.

Sebagaimana halnya agama Kristen Katolik, dalam agama Protestan juga menganjurkan agar antar sesama umat manusia selalu hidup rukun dan harmonis. Agama Protestan beranggapan bahwa aspek kerukunan hidup beragama dapat diwujudkan melalui Hukum Kasih yang merupakan norma dan pedoman hidup yang terdapat dalam Al Kitab. Hukum Kasih tersebut adalah mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia. Menurut agama Protestan, Kasih adalah hukum utama dan yang terutama dalam kehidupan yang didasarkan pada Injil Matins 22:37. Oleh karena itu, agama Kristen katolik dan protestan sangat menganjurkan adanya sikap saling menghormati antar umat beragama lainnya, karena hal tersebut merupakan bentuk kasih sayang kepada Allah dan Al-Kitab yang menjadi pedoman mereka masing-masing.

Begitu pula dalam agama Hindu yang juga diajarkan tentang masalah kerukunan. Pandangan agama Hindu untuk mencapai kerukunan hidup antarumat beragama, manusia harus mempunyai dasar yang disebut dengan Catur Purusa Artha, yang mencakup Dharma (susila atau berbudi luhur), Artha (kekayaan dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup, Kama (kenikmatan dan kepuasaan), dan Moksha (kebahagiaan dalam kehidupan). Dimana Moskha merupakan tujuan akhir dari agama Hindu yang setiap saat selalu dicari sampai berhasil. Upaya mencari Moskha juga mesti berdasarkan Dharma. Oleh karena itu, keempat dasar inilah yang merupakan titik tolak terbinanya kerukunan antar umat beragama dengan memberikan sikap saling menghormati dan menghargai keberadaan umat beragama lain.

Dalam pandangan agama Buddha mengenai kerukunan hidup umat beragama terdapat
dalam pengajaran Budha Gautama kepada manusia dengan 5 dasar yakni:
  1. Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia. 
  2. Metta berarti belas kasih terhadap sesama makhluk.
  3. Karunia, kasih sayang terhadap sesama makhluk, kecenderungan untuk selalu meringankan penderitaan orang lain. 
  4. Mudita, perasaan turut bahagia dengan kebahagiaan makhluk lain tanpa membedakan, iri hati, perasaan prihatin bila makhluk lain menderita.
  5. Karma (reinkarnasi), Hukum sebab akibat. 

Dari 5 dasar tersebut, maka dapat kita temukan pada dasar nomor 2, 3 dan 4, yang dimana dasar tersebut mengajarkan untuk saling mengasihi antar sesama makhluk dan saling membantu ketika mahkluk lainnya menderita. 

Sebagaimana agama-agama lainnya seperti telah diuraikan di atas, maka dalam agama Khonghucu juga ditemui ajaran yang dapat mengantarkan pemeluknya untuk hidup rukun dengan pemeluk agama lainnya. Di antara ajaran atau lima sifat yang mulia (Wu Chang) yang dipandang sebagai konsep ajaran yang dapat menciptakan kehidupan harmonis antara sesama adalah : 
  1. Ren/Jin, cinta kasih, tabu diri, halus budi pekerti, rasa tenggang rasa serta dapat menyelami perasaan orang lain.
  2. I/Gi, yaitu rasa solidaritas, senasib sepenanggungan dan rasa membela kebenaran.
  3. Li atau Lee, yaitu sikap sopan santun, tata krama, dan budi pekerti. 
  4. Ce atau Ti, yaitu sikap bijaksana, rasa pengertian, dan kearifan.
  5. Sin, yaitu kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya oleh orang lain serta dapat memegang janji dan menepatinya.


Dari ajaran Khonghucu di atas, terutama lima sifat yang mulia di atas, maka dalam Agama Khonghucu sangat menekankan hubungan yang sangat harmonis antara sesama manusia dengan manusia lainnya, di samping hubungan harmonis dengan Tuhan dan juga antara manusia dengan alam lingkungan. Oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwa semua agama yang ada di Indonesia seperti: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu sangatlah menganjurkan umatnya untuk senantiasa saling menghargai, saling menghormati dan saling membantu untuk kerukunan antar manusia untuk hidup rukun dan damai.

Sedangkan dalam sejarah menyatakan, ketika perumusan pengesahan pancasila yang pada awalnya dalam sila pertama lebih mengarahkan kepada agama Islam, namun atas pertimbangan oleh para tokoh-tokoh perumus pancasila sebagai dasar negara yang dimana Indonesia bukan hanya beragama Islam namun beberapa agama lain juga menempati NKRI maka diubah lah menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. sehingga hal tersebut mendorong akan toleransi antara agama yang kuat untuk mewujudkan kebangsaan maju dan damai. 

Bukan hanya itu, toleransi juga dapat kita telusuri dari para tokoh-tokoh pejuang dalam mempertahankan negara kesatuan republik Indonesia ini, mulai ketika sebelum Islam ataupun ketika Islam datang. Hal tersebut dapat kita buktikan kembali dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia seperti: Kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan Syailendra (Agama Budha) di Sumatera melawan tentara-tentara asing dalam mempertahankan wilayahnya yang berada di NKRI. Kerajaan Majapahit yang muncul di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pada masa keemasannya dibawah raja Hayam Wuruk  dengan Mahapatih Gajah Mada yang mampu membangun Candi Borobudur (Budha), Candi Prambanan (Hindu) dan mampu memukul mundur para penjajah yang ingin menguasai NKRI hingga ke Irian Jaya pada abad ke X. Selain kerajaan agama Hindu-Buddha, pada zaman kerajaan Islam yaitu: Kerajaan Demak dapat mempertahankan tanah Jawa dan memeluk mundur dalam menguasai tanah Jawa, sehingga bisa dikatakan bahwa NKRI tidak pernah lepas dari perjuangan agama-agama yang ada di Indonesia.

Selain hal diatas, mungkin di benak kita para pejuang hanya agama Islam? Tentu semua itu tidak, karena pada kenyataannya para tokoh inspirasi dalam perjuangan NKRI yang melawan penjajah seperti: Inggris, Belanda, Jepang, Portugis dll yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional  tidak hanya mereka yang beragama Islam ataupun hanya satu agama. Karena hal tersebut dapat kita buktikan dari beberapa tokoh pahlawan nasional yang berbeda agama memperjuangkan NKRI hingga berani mempertaruhkan nyawanya. Laksamana Muda Udara Agustinus Adisutjipto yang merupakan pahlawan dan komodor Indonesia yang beragama nasrani ikut berjuang melawan tentara Belanda di Yogyakarta bersama para tokoh muslim dan agama lainnya hingga dapat mendirikan sekolah penerbangan untuk pemuda bangsa belajar. Bukan hanya itu, pahlawan dari Maluku yaitu Thomas Matulesy yang dikenal sebagai Kapiten Pattimura yang merupakan seorang non muslim yaitu beragama Kristen juga ikut berjuang dan mempertahankan kesatuan perdamaian NKRI yang dalam kepemimpinannya berhasil merebut benteng duurstede hingga menewaskan seluruh tentara Belanda termasuk kapten Residen Van dan Berg. Dari dua contoh hal tersebut, maka dapat kita tinjau dan menjadi contoh bahwa negara ini tidak akan damai dalam mewujudkan NKRI tanpa adanya toleransi kerukunan antar umat beragama. 

Bukan hanya diatas, kita juga harus perhatikan bagaimana keadaan para tokoh sejarah yang menjadi korban dari penjajahan. Dari laki-laki yakni mereka yang berjuang dengan penuh semangat mulai dari siang hingga malam bahkan berhari-hari tanpa kenal lelah, walau mereka menjadi terluka hingga mati bahkan rela meninggalkan keluarga mereka untuk sementara waktu dalam menjaga NKRI. Dari perempuan banyak dari mereka yang tertindas, hingga kelaparan bahkan yang paling disedihi adalah diperkosa secara terang-terangan oleh para penjajah dari berbagai negara. Pertanyaannya, apakah kita sebagai generasi muda Indonesia lupa akan hal tersebut? Lupa akan pengorbanan tersebut? Lupa akan perlakuan tersebut? Tentu, jawaban kita haruslah tidak. Jika kita enak-enakan dengan pengaruh penjajahan mereka di atas darah para pejuang, maka apakah bedanya kita dengan mereka. Oleh karena itu, disinilah peran sebenarnya para generasi muda Indonesia yang berbagai macam budaya, agama, suku dan lainnya untuk bersatu dan menjaga NKRI dengan toleransi dalam menghadapi era globalisasi yang penuh akan tantangan.

Kita tahu, bahwa dalam kehidupan sekarang, semua alat teknologi juga dikuasai oleh negara asing. Bahkan aset kekayaan alam juga telah dikuasai oleh negara asing. Oleh karenanya, salah satu cara generasi muda Indonesia untuk mengatasi tersebut ialah melalui motivasi dan pendalaman ilmu agama serta meneladani sejarah semangat para tokoh pejuang Indonesia dengan melakukan suatu pembaharuan dalam hal mindset dan juga sistem dalam menghadapi tantangan tersebut. 

Menerapkan sistem pendidikan berbasis karakter, mengaktifkan kembali peranan para tokoh agama, sejarah dan masyarakat untuk meningkatkan rasa toleransi serta mengelola kekayaan alam yang masih ada dan memanfaatkan kembali alat-alat yang ada menjadi peluang seperti: teknologi yang berupa alat komunikasi, transportasi, sarana dan prasarana lainnya untuk hal positif. Karena dengan kita kembali meningkatkan semangat generasi muda dengan hal tersebut diharapkan dapat merubah segala keadaan yang ada di Indonesia sekarang. Generasi muda harus bisa kembali bangkit dari semangat para pejuang dan memperdalam al-kitabnya. Hal tersebut juga pernah dikatakan oleh presiden pertama Indonesia yaitu Ir. Soekarno yang mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya, dikenal (JASMERAH)” yang memiliki arti bahwa rasa menghormati dan meneruskan perjuangan sejarah bagi masa depan sangatlah penting.

Bukan hanya itu, mengenai peran generasi masa depan pemuda Indonesia juga beliau katakan dari sepenggal pidato beliau yaitu “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” yang artinya bahwa pemuda yang dikatakan adalah peran pemuda. Pemuda yang penuh akan semangat perjuangan dan cinta akan negara dan agama. Oleh karena itu dapat kita simpulkan  bahwa agama pada dasarnya memberikan ajaran yang jelas dan tegas bagaimana semestinya bergaul, berhubungan dengan pemeluk agama lain. Dan bagaimana peran generasi muda melalui sejarah para tokoh pejuang yang mengorbankan jiwa mereka hingga darah mereka untuk menjadi motivasi dalam menjadikan negara Indonesia maju. Dan katakana, bahwa perbedaan bukan problematika namun adalah hal yang menjadikan Indonesia jaya dengan berbagai variasi budaya dan agama.



Previous Post
Next Post

1 komentar:

  1. Barita dn informasi yan disajikan sngat banyak. Sangat barmanfaat. Tarima kasih.

    BalasHapus