Senin, 19 Oktober 2020

Mengembalikan Makna Thuma’ninah Dalam Shalat Yang Telah Bergeser


Sumber gambar : risalah islam.com


Masih teringat dalam beberapa kali ramadhan, kita menjumpai banyak media sosial dengan fenomena unik dari beberapa kalangan muslim yang melaksanakan shalat tarawih dengan kecepatan tidak biasa. Tarawih 20 rakaat beserta 3 witir yang biasanya memiliki durasi rata-rata 20-30 menit, bisa melaksanakan lebih cepat, yaitu selama 7 menit. Mungkin persendian dan otot-otot jamaah sudah diberi pelumas sehingga gerakannya bisa secepat itu.

Tentunya dari fenomena tersebut banyak bermunculan pujian dan komentar, bagi saya -canda penulis- usaha jamaah terebut dalam mempercepat durasi shalat adalah usaha yang perlu diapresiasi, karena dapat mengundang tawa dan kelakar. Namun sebagai pelajar sekaligus santri, penulis ingin membahas sebab yang menjadikan shalat bisa secepat kilat. Yaitu ketika seseorang melaksanakan shalat dan tidak memperhatikan salah satu bagian dari shalat itu sendiri, thuma’ninah.

Thuma’ninah merupakan salah satu rukun shalat, apabila seseorang yang meninggalkan satu rukun saja maka sudah dipastikan shalatnya tidak sah. Berbagai kitab fiqh, terutama dalam bab shalat, secara eksplisit menerangkan perihal thuma’ninah sebagai rukun dalam shalat, bahkan dalam kitab fiqh paling dasar pun –Mabadi’ al-Fiqh- meletakkan thuma’ninah beriringan dengan rukun-rukun yang lain. Ruku’ dengan thuma’ninah, i’tidal dengan thuma’ninah, sujud dengan thuma’ninah, dan begitu seterusnya.

            Thuma’ninah dalam Quut al-Habib al-Gharib karya Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, sebuah kitab syarah Fathul Qarib, diartikan dengan assukuunu ba’da al-harakah (tenang setalah bergerak), pemaknaan assukuun sangatlah tepat dengan maksud dari rukun ini. Akan tetapi istilah tersebut telah bergeser dari maksud sebenarnya, seperti halnya istilah fitnah dalam bahasa al-Qur’an (al-Baqarah:218) yang pada mulanya bermakna “ujian”, kini bergeser maknanya menjadi tuduhan yang tidak benar. Adapun makna thuma’ninah pun bergeser maknanya menjadi “berhenti sejenak”.

Dalam rangka mengupayakan agar persoalan thuma’ninah dapat dipahami dengan baik, maka terlebih dahulu mencari makna dasar thuma’ninah. Khusus dalam pembahasan kali ini, penulis berkenan memberikan pertanyaan, bagaimana kata thuma’ninah digunakan dalam al-Qur’an?, apa makna yang ditimbulkan dari penggunaannya?.

            Kata thuma’ninah dalam al-Qur’an dapat ditemui dari berbagai ayat dengan beragam bentuk yang terulang sebanyak 13 kali. Dari sekian banyak pengulangan kata, thuma’ninah seringkali disandingkan dengan kata qolbun (hati). Salah satunya terdapat dalam surat ar-Ra’du ayat 28;

الَّذِيْنَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِاللهِ أَلاَ بِذِكرِاللهِ تَطْمَئِنُّ القُلُوبُ

Artinya: “(yaitu) orang-orang beriman  dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah  hati menjadi tentram”

Dalam ayat tersebut, makna thuma’ninah berarti tenang, sedangkan konteks ayatnya berbicara tentang ketenangan hati. Oleh karenanya thuma’ninah adalah ketenangan yang bersumber hati dan didapatkan dengan dzikirullah.

            Berangkat dari pembahasan singkat tersebut, makna “berhenti sejenak” tidak sesuai dengan arti kata thuma’ninah dalam al-Qur’an, yaitu “tenang”. Adapun yang perlu digaris bawahi adalah, makna “berhenti sejenak” –walaupun bukan makna sebenarnya- merupakan implikasi atau bentuk fisik dari sifat tenang, karena orang yang mendapat thuma’ninah (ketenangan hati) akan timbul dalam gerak-geriknya ketenangan pula yang seakan-akan berhenti sejenak. Dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 95;

قُلْ لَو كَانَ فِي لأَرْضِ مَلاَئِكَةٌ يَمْشُوْنَ مُطْمَئِنّيْنَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِمْ مِنَ السَّمَاءِ مَلَكًا رَّسُوْلاً

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Sekiranya di bumi ada para malaikat yang berjalan dengan tenang, niscaya kami turunkan kepada mereka malaikat dari langit untuk menjadi rasul.”

            Berbicara tentang thuma’ninah sebagai rukun shalat serta melihat persoalan di atas, ulama fiqh telah memberikan durasi, yaitu sesuai dengan bacaan tasbih, subhanallah. Namun tetap memberi ketentuan lebih mengenai hal tersebut, bahwa bacaan tasbih bukan maksud utama dari thuma’ninah, akan tetapi dengan durasi tasbih tersebut diharapkan dapat menimbulkan ketenangan dalam hati.

Shalat adalah ibadah yang memiliki seperangkat gerakan dan bacaan, dan dari gerakan dan bacaan tersebut diharapkan dapat menimbulkan ketenangan hati, sebagaimana yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Maka hendaknya seseorang melaksanakan shalat dengan thuma’ninah, menghadirkan ketenangan hati melalui bacaan-bacaan dzikir dalam setiap gerakannya. Tidak hanya memahami thuma’ninah secara ringkas –berhenti sejenak- tanpa memahami filosofinya sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam al-Qur’an. Karena shalat tidak hanya gerakan dan bacaan, akan tetapi shalat juga ketenangan hati.


 

Biodata Penulis

·        Nama               : Fadhil Achmad Agus Bahari

·         TTL                 : Banyuwangi, 17 Agustus 1997

·         Alamat            : Wisma Takmir Masjid At-Tarbiyah Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

·         No. Telp          : 082234496107

·         Alamat Email : 2016fadhil@gmail.com

·         Pendidikan      :

o  TK. Nahdlatut Thullab Kec. Srono (2002-2004)

o  MI Miftahul Huda Kaligoro Kec. Srono (2004-2007)

o  SDN 1 Kepundungan Kec. Srono (2007-2009)

o  SMPN 1 Genteng (2009-2012)

o  SMA Tahfidz Al-Amien Kab. Sumenep (2013-2016)

o  Prodi Ilmu Al-Qur’an & Tafsir Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (2017-sekarang)

 

·  

·  

 

Previous Post
Next Post

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. terimakasih atas informasinya. menurut anda, langkah apa yang bisa kita ambil untuk membantu mengingatkan umat muslim tersebut? my website

    BalasHapus