Masih teringat
dalam beberapa kali ramadhan, kita menjumpai banyak media sosial dengan fenomena unik dari beberapa
kalangan muslim yang melaksanakan shalat tarawih dengan kecepatan tidak biasa.
Tarawih 20 rakaat beserta 3 witir yang biasanya memiliki durasi rata-rata 20-30
menit, bisa melaksanakan lebih cepat, yaitu selama 7 menit.
Mungkin persendian dan otot-otot jamaah sudah diberi pelumas sehingga
gerakannya bisa secepat itu.
Tentunya dari
fenomena tersebut banyak bermunculan pujian dan komentar, bagi saya -canda
penulis- usaha jamaah terebut dalam mempercepat durasi shalat adalah usaha yang
perlu diapresiasi, karena dapat mengundang tawa dan kelakar. Namun sebagai
pelajar sekaligus santri, penulis ingin membahas sebab yang menjadikan shalat bisa
secepat kilat. Yaitu ketika seseorang melaksanakan shalat dan tidak
memperhatikan salah satu bagian dari shalat itu sendiri, thuma’ninah.
Thuma’ninah merupakan salah satu rukun shalat, apabila seseorang yang meninggalkan
satu rukun saja maka sudah dipastikan shalatnya tidak sah. Berbagai kitab fiqh,
terutama dalam bab shalat, secara eksplisit menerangkan perihal thuma’ninah
sebagai rukun dalam shalat, bahkan dalam kitab fiqh paling dasar pun
–Mabadi’ al-Fiqh- meletakkan thuma’ninah beriringan dengan
rukun-rukun yang lain. Ruku’ dengan thuma’ninah, i’tidal dengan thuma’ninah,
sujud dengan thuma’ninah, dan begitu seterusnya.
Thuma’ninah dalam Quut
al-Habib al-Gharib karya Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, sebuah
kitab syarah Fathul Qarib, diartikan dengan assukuunu ba’da
al-harakah (tenang setalah bergerak), pemaknaan assukuun sangatlah tepat
dengan maksud dari rukun ini. Akan tetapi istilah tersebut telah bergeser dari
maksud sebenarnya, seperti halnya istilah fitnah dalam bahasa al-Qur’an
(al-Baqarah:218) yang pada mulanya bermakna “ujian”, kini bergeser maknanya
menjadi tuduhan yang tidak benar. Adapun makna thuma’ninah pun bergeser
maknanya menjadi “berhenti sejenak”.
Dalam rangka mengupayakan agar persoalan thuma’ninah dapat dipahami
dengan baik, maka terlebih dahulu mencari makna dasar thuma’ninah.
Khusus dalam pembahasan kali ini, penulis berkenan memberikan pertanyaan, bagaimana
kata thuma’ninah digunakan dalam al-Qur’an?, apa makna yang ditimbulkan
dari penggunaannya?.
Kata thuma’ninah dalam
al-Qur’an dapat ditemui dari berbagai ayat dengan beragam
bentuk yang terulang
sebanyak 13 kali. Dari sekian banyak pengulangan kata, thuma’ninah seringkali
disandingkan dengan kata qolbun (hati). Salah satunya terdapat dalam surat ar-Ra’du
ayat 28;
الَّذِيْنَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ
بِذِكْرِاللهِ أَلاَ بِذِكرِاللهِ تَطْمَئِنُّ القُلُوبُ
Artinya: “(yaitu) orang-orang beriman
dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi
tentram”
Dalam ayat
tersebut, makna thuma’ninah berarti tenang, sedangkan konteks ayatnya
berbicara tentang ketenangan hati. Oleh karenanya thuma’ninah adalah
ketenangan yang bersumber hati dan didapatkan dengan dzikirullah.
Berangkat dari
pembahasan singkat tersebut, makna “berhenti sejenak” tidak sesuai dengan arti kata thuma’ninah dalam al-Qur’an, yaitu “tenang”. Adapun yang
perlu digaris bawahi adalah, makna “berhenti sejenak” –walaupun bukan makna
sebenarnya- merupakan implikasi atau bentuk fisik dari sifat tenang, karena orang yang mendapat thuma’ninah (ketenangan
hati) akan timbul dalam gerak-geriknya ketenangan pula yang seakan-akan
berhenti sejenak. Dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 95;
قُلْ لَو كَانَ فِي لأَرْضِ مَلاَئِكَةٌ
يَمْشُوْنَ مُطْمَئِنّيْنَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِمْ مِنَ السَّمَاءِ مَلَكًا
رَّسُوْلاً
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Sekiranya di bumi ada para malaikat
yang berjalan dengan tenang, niscaya kami turunkan kepada mereka malaikat dari
langit untuk menjadi rasul.”
Berbicara tentang thuma’ninah
sebagai rukun shalat serta melihat persoalan di atas, ulama fiqh telah
memberikan durasi, yaitu sesuai dengan bacaan tasbih, subhanallah. Namun
tetap memberi ketentuan lebih mengenai hal tersebut, bahwa bacaan tasbih bukan maksud
utama dari thuma’ninah, akan tetapi dengan durasi tasbih tersebut
diharapkan dapat menimbulkan ketenangan dalam hati.
Shalat adalah ibadah yang memiliki seperangkat gerakan dan bacaan, dan dari
gerakan dan bacaan tersebut diharapkan dapat menimbulkan ketenangan hati,
sebagaimana yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Maka hendaknya
seseorang melaksanakan shalat dengan thuma’ninah, menghadirkan
ketenangan hati melalui bacaan-bacaan dzikir dalam setiap gerakannya. Tidak
hanya memahami thuma’ninah secara ringkas –berhenti sejenak- tanpa
memahami filosofinya sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam al-Qur’an.
Karena shalat tidak hanya gerakan dan bacaan, akan tetapi shalat juga
ketenangan hati.
Biodata Penulis
·
Nama
: Fadhil Achmad Agus Bahari
·
TTL : Banyuwangi, 17 Agustus 1997
·
Alamat
: Wisma Takmir Masjid
At-Tarbiyah Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
·
No.
Telp : 082234496107
·
Alamat
Email : 2016fadhil@gmail.com
·
Pendidikan
:
o
TK.
Nahdlatut Thullab Kec. Srono (2002-2004)
o
MI
Miftahul Huda Kaligoro Kec. Srono (2004-2007)
o
SDN
1 Kepundungan Kec. Srono (2007-2009)
o
SMPN
1 Genteng (2009-2012)
o
SMA
Tahfidz Al-Amien Kab. Sumenep (2013-2016)
o
Prodi
Ilmu Al-Qur’an & Tafsir Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
(2017-sekarang)
·
·
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterimakasih atas informasinya. menurut anda, langkah apa yang bisa kita ambil untuk membantu mengingatkan umat muslim tersebut? my website
BalasHapus